Sabtu, 20 Desember 2008

Bioma di Pulau Sulawesi dan Karakteristiknya

OLEH :

NURROLLICH EL KASFY

4315072156

REGULER

JURUSAN GEOGRAFI

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2008

Bioma di Pulau Sulawesi

  1. Sejarah Geologi Sulawesi

Jika kita ingin membahas kenakeragaman hayati dan bioma yang ada di Sulawesi dengan kekhasannya maka kita tak akan terlepas dari mempelajari sejarah terbentuknya pulau Sulawesi.. Zaman Paleozoikum pada periode Perm (280 Ma.) semua daratan menjadi satu benua yaitu benua Pangea. Zaman Mesozoikum pada periode Trias (250 Ma), pecahnya Pangea menjadi dua yaitu Laurasia dan Gondwana. Laurasia meliputi Amerika Utara, Eropa dan sebagian besar Asia sekarang. Sampai beberapa tahun belakangan ini pandangan yang umum diterima dalam sejarah geologi adalah bahwa Indonesia dan wilayah sekitar bagian barat (Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan dan bagian barat Sulawesi) merupakan bagian benua Laurasia, yang belum lama berselang masih terpisahkan dari bagian timur ( bagian Timur Sulawesi, Timor, Seram, Buru, dan seterusnya) yang merupakan bagian benua Gondwana.

Pada Periode Jura (215 Ma.), Bagian barat Sulawesi bersama sama dengan Sumatera, Kalimantan, dan daratan yang kemudian akan menjadi kepulauan lengkung Banda dianggap terpisahkan dari antartika dalam pertengahan zaman Jura, atau dengan kata lain, Bagian barat Indonesia bersama dengan Tibet, Birma Thailand, Malaysia dan Sulawesi Barat, terpisah dari benua Gondwana.

Pada zaman Konozoikum yaitu pada kurun Eosen (60 Ma) Australia terpisah dari Antartika, vulkanisme mulai timbul di bagian barat Sulawesi.Pada kurun Oligosen (40 Ma), Posisi Indonesia bagian barat dan Sulawesi bagian barat, posisinya seperti posisi sekarang. Pada kurun Miosen (25 Ma), Australia, Irian dan bagian timur Sulawesi barangkali terpisahkan dari Irian sebelum bertabrakan dengan Sulawesi bagian barat, pada zaman pertengahan miosen dimana mulai munculnya daratan. Dimana Australia, Sulawesi Timur dan Irian terus bergarak ke utara kira kira 10 cm pertahun.

Peristiwa yang paling dramatik dalam sejarah geologi Indonesia terjadi dalam kurun Miosen, ketika lempeng Australia bergerak ke Utara mengakibatkan melengkungnya bagian timur, lengkung Banda ke Barat. Gerakan ke arah barat ini digabung dengan desakan ke darat sepanjang sistem patahan Sorong dari bagian barat Irian dengan arah timur barat, mengubah kedua masa daratan yang akan menghasilkan bentuk khas Sulawesi yang sekarang. Diperkirakan tabrakan ini terjadi pada 19-13 Ma yang lalu. Kepulauan Banggai Sula bertabrakan dengan Sulawesi timur dan seakan akan menjadi ujung tombak yang masuk ke Sulawesi barat, yang menyebabkan semenanjung barat daya berputar berlawanan dengan arah jarum jam sebesar kira kira 35 derajat, dan bersama itu membuka teluk Bone. Semenanjung Utara memutar ujung utaranya menurut arah jarum jam hampir sebesar 90 derajat ,yang menyebabkan terjadinya subduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi di bawah bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik), sepanjang Alur Sulawesi Utara dan Teluk Gorontalo. Dan Obduksi (penempatan secara paksa suatu bagian kerak bumi diatas bagian lain pada pertemuan dua lempeng tektonik),batuan ultra basis di Sulawesi timur dan tenggara diatas reruntuhan pengikisan atau endapan batuan yang lebih muda yang bercampur aduk.

Diperkirakan juga bahwa, Sulawesi barat bertabrakan dengan Kalimantan timur pada akhir Pliosen (3 Ma. yang lalu) yang sementara itu menutup selat Makasar dan baru membuka kembali dalam periode Kwarter, meskipun tidak ada data pasti yang menunjang pendapat ini. Endapan tebal dari sebelum Miosen di selat Makasar memberikan petunjuk bahhwa Kalimantan dan Sulawesi pernah terpisahkan sekurang-kurangnya 25 Ma. dalam periode permukaan laut rendah, mungkin sekali pada masa itu terdapat pulau-pulau khususnya di daerah sebelah barat Majene dan sekitar gisik Doangdoang. Di daerah Doangdoang, penurunan permukaan air laut sampai 100 m. akan menyebabkan munculnya daratan yang bersinambungan antara Kalimamantan tenggara dan Sulawesi barat daya. Biarpun demikian, suatu pengamatan yang menarik ialah bahwa garis kontur 1000 m di bawah laut di sebelah timur Kalimantan persis sama dengan garis yang sama di Sulawesi barat, sehingga mungkin selat Makasar dulu hanya jauh lebih sempit.

Sulawesi meliputi tiga propinsi geologi yang berbeda-beda, digabung menjadi satu oleh gerakan kerak bumi. Propinsi-propinsi tersebut adalah Sulawesi barat dan timur yang dipisahkan oleh patahan utara barat laut antara Palu dan Teluk Bone (patahan Palu Koro), serta Propinsi Banggai Sula yang mencakup daerah Tokala di belakang Luwuk dan Semenanjung Barat laut, Kepulauan Banggai, pulau Buton dan Kep. Sula (yang kenyataannya merupakan bagian Propinsi Maluku)

  1. Karakteristik Sulawesi

Sulawesi adalah salah satu dari Lima pulau besar yang ada di Indonesia yang memiliki karakteristik sangat unuik karena jika kita lihat lebih jauh pulau ini memiliki kekhasan karena merupakan hasil dari penggabungan dari dua cirri dua benua yaitu Australia dan Asia sehingga memiliki kekhasan sendiri. Selain itu pada daerah ini juga banyak terdapat spesies yang merupakan endemik dari kawasan ini.

Tabel . Kekayaan Jenis Hewan dan Tumbuhan yang Terdapat di beberapa Pulau besar di Indonesia.

Nama Pulau

Burung

Mamalia

Reptilia

Taksa Tumbuhan

Sumatera

Jawa-bali

Kalimantan

Sulawesi

NTB-NTT

Maluku

Irian Jaya

465

362

420

289

242

210

602

194

133

210

114

41

69

125

217

173

254

117

77

98

223

820

630

900

520

150

380

1030

Sumber : Ministry of State & Environment, Republic Indonesia (1992)

Sulawesi merupakan pulau besar terpenting yang terdapat di kawasan Wallacea, suatu wilayah unik di dunia tempat bercampurnya tumbuhan dan binatang dari Asia dan Australia (kawasan peralihan antara Asia dan Australia). Menurut hasil ekspedisi Alfred Russel Wallace tahun 1850-an bahwa flora dan fauna yang terdapat pada kawasan ini banyak yang unik dan spesifik , hal ini beliau publikasikan dalam buku “ The Malay Archipelago” sehingga beliau dikenal sebagai Bapak Biogeografi.

Menurut Whitmore Lokasi geografi Sulawesi ditentukan oleh posisi biogeografi yang special di Asia Tenggara, dimana pulau-pulau Kalimantan , Sumatera dan Jawa diperkirakan pernah bersatu dengan dataran utama Benua Asia pada akhir periode Glasial sedangkan Sulawesi terisolasi dari pulau-pulau lain dan juga dari Papua New Guinea meskipun dipisahkan oleh selat yang sempit namun sangat dalam.

Persebaran Tumbuhan Sulawesi

Konsep tentang garis Wallace telah mempesona ahli-ahli biogeografi, dan keabsahannya berbeda-beda menurut golongan mahkluk hidup yang berbeda pula. Analisis dini mengenai flora Sulawesi menunjukan afinitas dengan timur dan barat, tetapi lebih besar dengan barat. Namun demikian, analisis ini hanya mempertimbangkan 700 jenis. Suatu analisis flora di Malesia pada tingkat marga menunjukkan adanya tiga propinsi di Malesia. Dari ketiga propinsi, Malesia timur meliputi Irian kepulauan Maluku dan Sulawesi.

Analisis belakangan mengenai 4222 jenis dari flora Sulawesi mengungkapkan bahwa flora Sulawesi itu berkerabat paling dekat dengan flora wilayah lain yang relatif kering di Filipina, Maluku, Nusa Tenggara dan Jawa. Tidak ada afinitas yang jelas antara Sulawesi dan pulau-pulau di sebelah timur atau sebelah baratnya. Akan tetapi jenis yang tempat tumbuhnya di habitat pantai, dataran rendah dan ultra basis lebih mirip flora Irian dan jenis-jenis tumbuhan gunung lebih mirip dengan yang di Kalimantan. Makin tinggi dari permukaan laut, jarak antara wilayah dengan ketinggian yang sama semakin jauh, sehingga dengan demikian wilayah yang lebih dekat mempunyai kemungkinan lebih besar untuk dikolonisasi dari pada wilayah yang jauh. Hal ini dapat menerangkan besarnya bagian tumbuhan Kalimantan di gunung gunung Sulawesi tetapi eratnya afinitas antara tumbuhan dataran rendah dan flora Irian mungkin karena Irian relatif lebih banyak mempunyai wilayah yang kering dari pada Kalimantan dan oleh karena itu lebih merupakan sumber jenis tumbuhan yang lebih cocok. Beberapa diantaranya mungkin dibawa ke Sulawesi melalui Taji Sula, sedang yang lain mungkin meloncat dari pulau ke pulau.

Suatu penelaahan mengenai presentase takson yang tidak melintasi garis imajiner antar benua atau dalam benua itu sendiri ke arah yang diberikan, mengungkapkan bahwa garis demarkasi demikian yang paling kuat adalah untuk tumbuhan berasal dari barat antara Kalimantan dan Sulawesi. Kira-kira 50 % tumbuhan yang merupakan jenis endemik Kalimantan tidak terdapat di Sulawesi. Hal ini menunjukkan bahwa selat Makasar pernah terbuka untuk waktu yang sangat lama. Namun demikian, yang sangat menarik perhatian adalah bahwa garis ini sangat lemah bila diperhatikan adanya tumbuhan non endemik asal timur yang melintasi selat Makasar dari Sulawesi ke Kalimantan.

Ternyata jalan yang paling mudah bagi jenis jenis tumbuhan untuk dapat memasuki Sulawesi adalah melalui Jawa dan Nusa Tenggara serta melalui Filipina dan Sangihe. Alasan pertama dibuktikan dengan adanya rantai pulau-pulau antara Jawa/Nusa Tenggara dan Sulawesi di masa yang belum begitu lama silam. Bagi golongan tumbuhan dan hewan tertentu telah banyak ditemukan pola pola agihan yang menarik. Persentase suatu jumlah jenis yang dimiliki bersama oleh pulau pulau yang berdekatan menunjukkan bahwa pada umumnya afinitas yang lebih dekat antara Sulawesi dan pulau pulau di sebelah timurnya, tetapi hal ini untuk sebagian merupakan akibat (perbuatan) flora dan fauna di sebelah timur yang relatif sedikit. Flora pegunungan Sulawesi berasal dari dua sumber : yang berasal dari sumber setempat (anokton) dan yang pusat sumber asalnya di luar daerah yang bersangkutan (alokton). Flora yang alokton, walaupun merupakan minoritas dalam flora pegunungan seluruhnya, memungkinkan pembuatan hipotesis mengenai asalnya. Bagian flora ini tergolong marga marga yang jenis jenisnya hanya ditemukan dalam iklim dingin (yaitu jenis jenis mikroterm), dan di daerah tropika tumbuhan ini umumnya hanya ditemukan di hutan subalpin di gunung gunung pada ketinggian sekitar 2000 m.

Tanah tampaknya hanya sedikit pengaruhnya atau sama sekali tidak berpengaruh terhadap agihannya, mengingat satu jenis yang sama akan dapat ditemukan di tanah-tanah yang berasal dari batuan induk pembekuan, pengendapan, atau volkanik yang masih muda. Walaupun demikian, umur batuan tampaknya tidak ada kaitannya, hanya beberapa jenis tidak terdapat pada tanah volkanik yang masih baru. Dari analisis mengenai agihan kira-kira 900 jenis pegunungan yang telah menyesuaikan diri dengan iklim dingin ini disimpulkan, bahwa ada tiga jalur yang merupakan jalan sehingga tumbuhan tadi dapat sampai ke Sulawesi dalam beberapa periode atau dalam suatu periode dalam zaman geologi yang telah lalu. Tentu saja, deretan pegunungan tinggi yang berkesinambungan tidak terdapat sepanjang jarak jalur ini.

Selama waktu paling dingin dalam zaman Pleistosen suhu rata rata hanya turun kira kira 2oC, yang laju perubahan suhu kira kira sebesar 0,6oC/100 m, setara dengan penurunan pada aras mintakat hutan pada ketinggian 350-400 m. Jumlah puncak gunung yang cocok pada masa-masa yang dingin jelas lebih banyak sekaligus merupakan batu loncatan bagi pemencaran tumbuhan. Palma merupakan golongan tumbuhan yang berguna dalam studi biogeografi, karena marga-marganya setidaknya telah dikenal baik dan golongan ini mewakili suatu golongan tumbuhan yang sudah tua, yang marga marganya telah berkembang menjelang zaman Oligosen (30 Ma yang lalu).

Hanya terdapat dua marga Gronophyllum dan Pigafetta yang monotipik, tetapi tidak terdapat di mana pun lebih jauh ke barat. Hal ini mengherankan dalam hal Pigafetta, karena palma ini merupakan palma subur yang tinggi dalam vegetasi sekunder dengan biji yang kecil. Namun demikian, ada 13 marga palma yang ditemukan tidak lebih timur dari Kalimantan yang lagi lagi menggambarkan bahwa garis Wallace adalah yang paling tampak dalam perjalanan dari barat ke timur. Walaupun begitu, dua marga yaitu Oncosperma palma kipas yang berduri dan Woka kuning Pholidocarpus, melintasi garis Wallace dari Kalimantan ke Sulawesi, tetapi tidak ditemukan lebih jauh ke timur dan 16 marga lagi ditemukan di Sulawesi ke timur dan barat. Diantaranya adalah rotan Calamus dan palma berupa pohon Licuala, Crytostachys, Areca, Livistona yang memamerkan pola agihan yang khas dengan jenis-jenisnya di daerah Sunda dan Irian, namun hanya sedikit atau tidak ada sama sekali di Sulawesi. Sejak diketahui bahwa Sulawesi dalam zaman Pleistosen barangkali lebih kering daripada massa daratan benua, beberapa jenis mungkin menjadi punah atau kondisi untuk evolusi jenis di sana kurang sesuai. Jalur Migrasi Penyebaran dari beberapa spesies tumbuhan yang mencapai Sulawesi melalui sejumlah jalur yang terbatas. Hal ini telah diakui oleh Lam dan yang lainnya.

Tipe-tipe distribusi yang terkenal yaitu :

a) Barat : 22 spesies hanya ditemukan di Sulawesi dan sebelah baratnya; yang tidak terdapat di Filipina, Kepulauan Sunda Kecil atau New Guinea, yang mencapai Sulawesi dengan menyebrangi Selat Makassar.

b) Utara : 32 Spesies terdapat di Sulawesi dan Filipina tetapi tidak ada di blok Sunda atau New Guinea.

c) Selatan : 27 spesies terdapat di Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil (dan Jawa), tetapi tidak ada di Kalimantan, Filipina atau Maluku.

d) Timur : 41 spesies terdapat di Sulawesi dan New Guinea (dan Maluku) tetapi tidak ada di Kepulauan Sunda Kecil, Filipina atau blok Sunda.

e) Barat daya : 60 spesies terdapat di Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Kalimantan dan wilayah lain disebelah barat garis Wallace. Spesies-spesies tersebut telah mencapai Sulawesi melalui rute selatan atau langsung menyebrangi Selat Makasar.

f) Timur laut : 21 spesies terdapat di Sulawesi dan pulau-pulau di bagian timur dan di Filipina. Mereka tiba melalui rute utara atau timur. Hubungannya dengan barat cukup lemah, yang mengherankan adalah cukup dekat dan beragamnya tanaman di Kalimantan.

Kelihatannya beberapa tanaman lebih mudah mencapai Sulawesi melalui rute utara, selatan dan timur. Persembahan yang terbaik di barat adalah type pohon, sebagian besar di habitat montana. Di Utara sebagian besar jenis tanaman dari habitat kering: tipe di selatan proporsi terbesar dari spesies tanaman habitat kering dan terganggu, serta tipe pohon hutan dataran rendah.

Pola Persebaran Burunug Sulawesi

Terbentuknya Sulawesi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya menyebabkan beberapa tumbuhan dan hewan membentuk kolonisasli di Sulawesi tanpa menyeberangi lautan. Beberapa kelompok dengan pasti menjadi asli Sulawesi yang lambat laun bertambah atau lebih kecil dimana sekarang mereka hidup. Khusus untuk penyebaran avifauna, selain pengaruh dari Paleogeografi yang harus di pertimbangkan juga adalah pengaruh dari pergantian iklim yang radikal. Jadi, keterangan dari penyebaran arah burung dalam Sulawesi terbentuk tidak hanya dipengaruhi oleh lempeng tectonic dengan pertimbangan Paleogeographical tetapi juga diakibatkan oleh Paleoclimate, pergerakan jembatan-pulau dan kemampuan dari beberapa kelompok burung tertentu untuk menyeberangi daratan yang terpisah oleh laut.

Walaupun secara detail keterangan yang ada belum mendapat penyelesaian, anggapan dari Wallace adanya geographical yang serupa dan arah penyebaran burung hasil dari rentetan peristiwa yang kompleks dapat membantu memahami bahwa beberapa daerah lebih menyimpang penyebaran burungnya. Sebagai contoh pola distribusi yang ditunjukkan oleh adanya genus Australo-Papua seperti Trichoglossus ada di seluruh Wallacea kecuali Maluku Utara serta Prioniturus dan Basilornis ada di Filipina (barangkali lebih dulu ada). Sulawesi terpisahkan oleh selat Makasar dengan Kalimantan, meskipun perbedaan yang sangat besar dalam ukuran dua pulau, fauna yang terpisah diartikan oleh garis Wallacea sebagai catatan terkemuka yang hampir tidak dapat di terima. Banyak karakteristik famili, genus dan spesies di bagian timur yang dibatasi jarak mereka dengan garis Wallacea. Satu faktor yang terus-menerus muncul dalam diskusi moderen biogeografi Wallacea adalah keanehan Sulawesi yang terisolasi sejak dahulu. Hal ini terlihat dengan adanya kekhususan dari Avifauna, yang walaupun afinitas di dominasi bagian timur, termasuk genus tua yang tidak dapat dipastikan keasliannya sebagai contoh Chryptophaps, Malia, Geomalia, Enodes dan Myza.

Dari catatan khusus adalah dua dari beberapa famili burung bagian timur yang hanya dapat melintasi garis Wallacea masuk ke Sulawesi adalah Woodpeckers dan Babblers, tidak ada famili yang menjangkau Maluku atau sebelah barat Sunda Kecil. Pendapat lain (On the other hand), jumlah yang lebih pantas terdapat famili burung bagian timur menjangkau lebih jauh dari New Guinea dan sering pula Melanesia Utara dan atau Australia. (e.g. Hornbills, thrushes, starlings, shrikes, flowerpeckers dan sunbirds. Famili-famili burung Australia dapat melintasi garis Wallacea ke Asia (seringkali hanya pinggiran) dan adakalanya melebihi termasuk Megapodes, Fairy-warblers, Whistlers, Wood-swallows dan Honey-eaters.

Walaupun daerah-daerah dataran rendah mendukung sejumlah besar spesies, spesies tersebut tersebar luas menjadi endemik Wallacea atau menetap di bagian timur atau menjadi spesies Australo-Papua. Spesies ini dapat menetap di sejumlah pulau dan dalam beberapa hal, sebagian besar di Sulawesi. Dengan demikian Sulawesi sangat menentukan dalam pembahasan mengenai keberadaan suatu spesies. Apakah kekhususan populasi dataran rendah terisolasi di pulau-pulau akan terancam (threated) sebagai species terpisah atau subspecies. Hal ini akan menjadi sumber pembahasan terus-menerus. Kehadiran Wallacea banyak contoh pada tingkatan menengah dari species (e.g. Macropygia, Monarcha, Dicaeum dan Zosterops). Faktor lain yaitu sangat kayanya jenis endemik di Wallacea yang kurang diperhatikan.Endemisitas Burung di Sulawesi terutama berasal dari barat, dengan 67 % jenis jenisnya berasal dari Asia.

Sulawesi memiliki 380 jenis burung, diantaranya 115 jenis endemik Indonesia dan 96 jenis endemik Sulawesi.Pulau Sulawesi memiliki tingkat endemisitas burung yang tinggi dibandingkan dengan-pulau pulau lain di Wallaceae. Terdapat 14 genus endemik yaitu Macrocephalon, Aramidopsis, Meropogon, Cryptophaps, Cataponera, Geomalia, Malia, Heinrichia, Hylocitrea, Coracornis, Myza, Cittura dan Scissirostrum. Ini tidak termasuk Starlings (Basilornis dan Streptocitta). Kedua jenis ini tersebar dari pulau yang berbeda tetapi sama-sama berkembang di Sulawesi.

Dengan adanya jumlah genus endemik menunjukkan bahwa Sulawesi merupakan pulau yang telah lama. Bagian yang tertua di Sulawesi adalah semenanjung Minahasa. Hal ini terlihat dengan adanya gugusan pulau asli yang terbentuk kearah Timur Laut, terbentuknya gunung di awal zaman Eocene atau di akhir zaman Mesozoic. Proses ini berawal dari zaman Miocene di Sulawesi utara dan di semenanjung selatan yang terisolasi oleh terbentuknya gunung Lompobattang dari laut di zaman Miocene. Tetapi untuk Sulawesi tenggara belum jelas sejarahnya. Penyebaran burung di Sulawesi sangatlah kompleks dan belum benar-benar dipahami. Di daerah ini dijumpai fenomena penyebaran jenis yang menarik dimana jenis Sikatan Lompobattang (Ficedula bonthaina) dan Kacamata Leher-kuning (Zosterops anomalus) hanya dijumpai di semenanjung Selatan, Kacamata perut pucat (Zosterops consobrinorum) hanya dijumpai di semenanjung Tenggara, sedangkan Taktarau iblis (Eurostopodus diabolicus) dan Sikatan Matinan (Cyornis sanfordi) hanya dijumpai di semenanjung Minahasa.

Proses spesiasi di daerah ini tampaknya terjadi pada saat turun naiknya permukaan laut dalam era Pleistosen yang memisahkan semenanjung-semenanjung yang tampak pada saat ini menjadi pulau-pulau yang terpisah. Pulau-pulau yang muncul keatas permukaan laut akan dikunjungi (kolonisasi) oleh spesies-spesies hidupan liar yang mampu menyeberangi laut luas. Spesies ini kemudian mengalami proses spesiasi dan kemudian terpisah dari plasma nutfah induknya di daratan.

Jika kita ingi melihat lebih jauh mengenai ekosistem hutan hujan di Sulawesi kita dapat melihat gambarannya dalam Taman Nasional Lore Lindu. LoreLindu adalah salah satu Taman Nasional di Indonesia yang luasnya 229.177,5 ha. Taman ini berlokasi di Propinsi Sulawesi Tengah yang dapat dicapai dengan bus yang jaraknya kira-kira 50 km ke arah tenggara dari kotamadya Palu. Menurut WWF dan laporan Yayasan lokal (1983) bahwa pertama diusulkan kawasan ini bernama Lore Kalamanta berdasarkan SK.No.522/Kpts/Um/10/1973 ditambah dengan hutan wisata / hutan lindung danau Lindu berdasarkan SK.No.46/Kpts/Um/1/1978, akan tetapi nama dan statusnya berganti menjadi Taman Nasional Lore Lindu.

Ø Topografi

Lore Lindu adalah sebuah daerah pegunungan yang diselingi oleh 3 lembah yaitu Lembah Besoa, Lembah Bada dan lembah Palolo-Sopu. Pada bagian utara terdapat puncak gunung tertinggi yaitu Rorekatimbu (2.610 m dpl) dan Gunung Nokilalaki (2.355 m dpl). Kawasan ini terbentang secara melebar dari ketinggian 200 m ( dekat Irigasi Gumbasa/ Pakuli) hingga 2.610 m ( G. Rorekatimbu).

Wilayah Taman Nasional ini mencakup 6 kecamatan yang terdapat di Kabupaten Donggala dan Poso, yakni :

ü Kecamatan Sigi Biromaru Kab. Donggala

ü Kecamatan kulawi Kab. Donggala

ü Kecamatan Palolo Kab. Donggala

ü Kecamatan Lore Utara Kab. Poso

ü Kecamatan Lore Tengah, Kab. Poso

ü Kecamatan Lore Selatan Kab. Poso

Lokasi proyek secara geografis terletak sedikit di sebelah Selatan khatulistiwa dan memiliki iklim tropis luas dengan ciri utamanya variasi iklim yang ada sepanjang tahunnya sangat kecil, hal ini dicirikan antara musim hujan dan musim kemarau tidak jauh berbeda. Rata-rata curah hujan yaitu berkisar antara 1.700 mm/tahun (lembah napu) sampai 2.400 mm/tahun. Rata-rata tahunan terendah yaitu terdapat diujung paling Utara lokasi proyek, dimana pengaruh daerah bayangan hujan berpengaruh pada penurunan curah hujan sekitar 1.000 mm/tahun. Curah hujan akan lebih tinggi di lokasi yang berada di punggung-punggung yang berada di TNLL

Patahan-patahan lereng yang terletak di bagian sisi sebelah Timur (lembah Napu) kurang begitu terjal, hal ini disebabkan karena ketinggian dari lembah Napu, yaitu berkisar 1.100 m diatas permukaan laut (d.p.l.) berada sedikit lebih tinggi dari ketinggian lembah-lembah lainnya yang ditempati baik yang berada disebelah Utara, Selatan dan Barat yang berada pada kisaran ketinggian antara 100 - 500 m d.p.l. Dibagian tengah lokasi proyek ini terdapat TNLL yang berada pada ketinggian anatara 200 - 2.500 m d.p.l. dan sebagian besar dari TNLL ini terletak pada ketinggian anatara 1.000 m d.p.l.

Lokasi kegiatan proyek ini mempunyai lingkup wilayah yaitu 60 desa di sekitar TNLL, seperti terlihat pada Tabel.

Kabupaten

Kecamatan

Jumlah

Desa

Proyek

Desa

Donggala

Sigi Biromaru

24

5

Palolo

19

9

Kulawi

38

23

Poso

Lore Utara

22

16

Lore Selatan

14

7

Total

117

60

Ø Sumber Daya Flora

Ciri utama vegetasi yang terdapat dalam TNLL terdapat pada vegetasi penutup yang didominasi berbagai jenis rotan (Calamus, sp) yang tingkat bervariasi. Hingga saat ini lebih dari 20 jenis telah dikenal, dan beberapa diantaranya mungkin penting secara ekologis sebagai jenis khas dari tipe vegetasi tertentu atau sebagai indikator dari habitat yang spesifik. Sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi pinanga serta berbagai jenis tumbuhan terna dan paku-pakuan. Walaupun masih memerlukan penyelidikan yang lebih dalam, sementara ini tipe vegetasi utama di Taman Nasional ini dapat dikatakan memiliki penyebaran menurut ketinggian.

Dua zonasi vegetasi uatama yang dijumpai dikawasan hutan hujan tropika ini terdiri dari hujan dataran rendah dan hutan hujan pegunungan. Pohon ini terdapat pada kedua zona yang meiliki tajukyang tertinggi mempunyai mempunyai ukuran yang sama , tingginya mempunyai ukuran yang sama , tingginmya mencapai ukuran 30-40 meter dengan diameter 70-80 cm . Struktur vegetasinya pun mirip satu sama lain , serta sering kali tidak memilki batas-batas yang agak jelas terdapat pada ketinggian 1.000 m . Disini epifit dan lumut menjadi lebih lazim dijumpai dan jenis-jenis tumbuhan pegunungan secara bertahap menggantikan jenis tumbuhan dataran rendah , walaupun beberapa jenis tumbuhan dataran rendah yang masih dapat dijumpai sampai ketinggian 1.500 m . Didalam tipe hutan hujan pegunungan juga mudah dikenali suatu sub-zona , yaitu hutan hujan pegunungan bawah .

Vegetasi pada hutan hujan dataran rendah ini meliputi kurang dari 10 % dari luas TNLL dan terutama dapat dijumpai pasa jalur sempit yang terbentang sepanjang batas utara dan barat pada ketinggian antara 200 sampai 1.000 m komposis tumbuhan dari zona ini agak beraneka ragam , tidak dijumpai jenis tertentu yang dominan . Ciri vegetasi ini ditandai oleh adanya pohon yang dikenal sebagai "PAWA" (Rubiaceace ) ntrode ( Pterospermun celebicum ) Ndolia (Cananga odorata) , Ngkera (Horsfieldia sp ) Lawedaru (Knema atau Myristica) dan juga palma saguer (Arenga pinata) dan take (Arenga undulatifolia) , Mpire ( Caryota sp) pada umumnya jenis tumbuhan disebut diatas tidak terdapat pada ketinggian lebih dari .1.000 m .

Jenis tumbuhan lain yang diketemukan dalam zona vegetasi ini adalah 'Tahiti " ( Disoxyllum sp) , “Uru” (Elmerillia atau Manglietia) , Luluna {Celtis sp } , Maro (Garcinia sp), kaupahi , “Dango” (Carralia brachiata) , “Palili” (Lithocarpus spp) , "Nuncu"( Ficus sp) ,Tingaloko ( Leea sp) “Tea, Tea Uru” ( Artocarpus spp ) , Huka (Gnetum gnemon ), “Pangi” ( Pangium edule ) , “Kau mpangana” (Ardisia) di beberapa tempat juga terdapat Vatica sp (Dipterocarpaceae) Durio zibethinus (durian), Duabanga moluccana ( Lekotu) dan Octomeles sumatrana (benoang)

Vegetasi ini bergabung dengan vegetasi sekunder yang tumbuh setelah hutan asli dibuka untuk perladangan dan kemudian ditinggalkan. Komposisi tumbuhan dari vegetasi sekunder ini bervariasi menyryt umur serta lokasi tegakan. Secara umum dalam tahun pertama setelah ladang ditinggalkan munculah rumput-rumput dan jenis tumbuhan yang tak berkayu. Pada tahun kedua atau ketiga, herba penutup ini akan diganti oleh semak belukar yang lebat, yang didominasi oleh 'walobira' (Melastoma malabathricum) dan atau 'hinduru' (Villebrunnea sp). Jenis pohon yang kelak menggantikan semakbelukar ini diantaranya 'wulaya' (Trema orientalis), 'hinanu' (Callicapra), 'kuo' (Alphitonia zizyphoides), 'paili' (Lithocarpus). Jenis-jenis ini dapat membentuk suatu tegakan campuran, atau tegakan yang didominasi oleh beberapa jenis saja, tetapi bisa juga masing-masing menguasai areal tertentu untuk membentuk suatu tegakan murni. Sebagai tambahan dapat diutarakan bahwa tanah terbuka yang dibiarkan sesudah longsor terjadi, mungkin langsung seluruhnya diambil alih oleh (Casuarina sumatrana atau Pigaffeta elata.

Pada vegetasi hutan hujan pegunungan, karena lebih dari 90 % dari TNLL ini berada pada ketinggian di atas 1.000 m (antara 1.000 - 2.600 m), maka bagian terbesar vegetasi yang menutupi Taman ini adalah hutan hujan pegunungan. Vegetasi di zona ini ditandai oleh adanya dominasi dari jenis pohon tertentu seperti 'kaha' (Castanopsis argentea), 'palili bohe', palili nete', palili pence' (Lithocarpus spp) dan berbagai jenis Syzigium. Jenis lain yang juga terbesar tetapi kurang begitu umum ditemukan adalah jenis-jenis dari Podocarpus, Elaeocarpus, Adinandra, Lasianthus, Cinnamomum, Letsea, Callophylium. Salah satu pohon yang tajuknya terbesar yaitu Aghatis celebica dan Agathis philippinensis biasanya terdapat dalam suatu tegakan atau sebagai individu-individu yang tersebar pada punggung bukit di atas ketinggian 1.500 m, bersama-sama dengan Phyllocladus hypophyllus dan Pandanus sp, Litsea sp. Vegetasi jenis terna lain yang mendominasi kawasan ini adalah Rhododendron spp ( R. malayanum, R.celebicum dan R. Zollingerii), dan Vaccinium spp.

Pada hutan hujan pegunungan bawah karena masih merupakan bagian dari hutan hujan pegunungan, vegetasi hutan hujan pegunungan bawah yang berada pada ketinggian antara 1.000 - 1500 m ini didominasi juga oleh jenis-jenis khas dari vegetasi pegunungan. Hal ini terutama sekali dapat dilihat pada pegunungan bukit yang baik drainasenya serta lereng sebelah atas dimana jenis tumbuhannya dataran rendah tidak begitu lazim diketemukan. Sedangkan pada lereng bawah yang drainasenya sedang sampai kurang, kaki lereng serta didaerah banjir - didominasi jenis khas pegunungan menjadi kurang nyata, diganti oleh jenis tumbuhan yang terdapat dihutan hujan dataran rendah. Marga tertentu berkembang biak sekali di sub zona ini. Sebagai contoh, didataran rendah terdapat 1 atau 2 macam 'uru' (Ellemerillia atau Manglietia). Tetapi di sub zona pegunungan bawah terdapat 5 macam , diantaranya 'uru ronto', uru tonu', dan 'uru kasa',. Pohon-pohon yang lazim dijumpai adalah jenis-jenis Turpinia, Stercularia, Vernomia, Engelhardtia, Canarium, Artocarpus, Semecarpus, Knema, Myristica Horsfieldia dll. Juga umum ditemukan jenis bambu merambat Dinochola scandeus. Ditempat-tempat terbuka di dataran banjir yang berbasah, Eucalyptus deglupta yang pertumbuhannya cepat, dapat tumbuh dengan mapan. Tegakan murni dari jenis ini dapat dijumpai disepanjang sungai-sungai Sopu, Saluki, dan Lamea. Komponen vegetasi dari sekunder dalam sub zona ini pada hakekatnya serupa dengan yang dijumpai dalam zona dataran rendah. Pada daerah ini dimana sering terbakar, terutama pada abatas tmur TNLL dapat dipertahankan adanya padang rumput yang didominasi oleh Themeda, Setaria, Rottboelia, dan lain.lain.

Ø Sumber Daya Fauna

Mamalia Besar

Sulawesi yang terpisah secara fisik dari dua daratan yaitu Asia dan Australia dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan kurangnya jenis satwa dibnding dengan pulau lain. Dibanding dengan pulau jawa, Pulau Sulawesi hanya memiliki 114 jenis binatang menyusui dan 263 jenis burung penghuni tetap (resident), jika dibandingkan dengan pulau jawa yang lebih kecil yang ternyata mempunyai 133 jenis binatang menyusui dan 362 jenis burung. Namun demikian kondisi ini menyebabkan pula adanya jenis satwa yang ditemukan di Pulau Sulawesi tapi tidak ditemukan ditempat lain.

Anoa dan kerbau cebol yang umumnya diketemukan di TNLL jarang dapat dilihat. Hal ini disebabkan oleh sifatnya yang lebih suka menjauhkan diri dari manusia serta satwa ini nokturnal. Batas penyebaran di dalam taman tidak ada. Faktor pembatas yang mungkin adalah gangguan yang terus menerus dari manusia terutama pemburu terhadap satwa ini. Di kawasan TNLL mereka mempunyai reputasi yang buruk oleh sifatnya yang suka menyerang orang atau binatang lain dalam hutan tanpa suatu alasan. Klasifikasi Anoa di TNLL seluruhnya terdapat dua jenis, yaitu Bubbalus quarlesii dan Bubbalus depressicornis. Tipe populasi Anoa Di TNLL adalah tipe Bubbalus quarlesi. Satwa ini memiliki tanda-tanda berupa perawakan yang kecil, rambut wol yang berwarna hitam, tidak terdapat banyak bercak putih pada kaki, serta memiliki tanduk yang terhitung kecil.

Babirusa (Babyrousa sp) adalah binatang menyusui di Sulawesi yang paling banyak mengandung teka-teki. Sementara ini dia tidak memiliki kerabat dekat. Dahulu ia merupakan sanak primitif dari babi, dimana penampilan luarnya memiliki ciri cukup mirip, tetapi Babirusa hampir-hampir tanpa rambut dan jantannya mempunyai dua pasang taring yang mengesankan. Di seluruh TNLL, Babirusa terdapat dalam kapasitas yang amat rendah, kecuali di daerah dasar lembah, seperti Sopu, Lamea serta sebelah Timur Danau Lindu di mana mereka lebih banyak dijumpai. Binatang ini jarang dijumpa di TNLL. Besar kemungkinan karena Babirusa pada dasarnya satwa yang beradaptasi di hutan hujan dataran rendah. Oleh karena itu TNLL tidak dapat dianggap sebagai areal konservasi yang tepat bagi perlindungan Babirusa. Suatu kemungkinan lain adalah disebabkan adanya persaingan yang tidak menguntungkan dengan Babi Celebes (Sus celebensis) yang umumnya dijumpai di seluruh taman. Walaupun Babi Celebes (Sus celebensis) ukurannya lebih kecil, ia dapat berkembang biak lebih cepat dari pada Babirusa. Sekali beranak, Babirusa hanya satu atau dua ekor, sedangkan babi Celebes dapat mencapai empat sampai delapan ekor. Kera hitam Sulawesi Macaca tonkeana umumnya dijumpai di dalam taman, terutama di sekitar tepi hutan yang telah rusak. Beberapa kelompok penghuni daerah pegunungan sampai ketinggian lebih dari 2.000 m.

Jenis kuskus Sulawesi juga dapat diketemukan di TNLL. Kuskus beruang Phalanger ursinus tidak jarang dijumpai pada ketinggian 1.200 m. Namun ia agak sulit diketemukan karena ia sering makan dengan diam-diam di pucuk-pucuk pohon. Mereka pada umumnya hidup berpasangan. Hanya varietas hitam yang tampak terlihat dalam TNLL,tetapi bentuk abu-abu pun bisa dijumpai tidak jauh dari sebelah utara TNLL, yaitu di lembah Palolo. Kuskus Celebes yang lebih kecil Phalanger celebensis mempunyai sifat yang sangat nokturnal. Statusnya tidak jelas, namun ada kemungkinan mereka juga umumnya terdapat di dalam TNLL.

Binatang pemangsa terbesar di Sulawesi, Musang Coklat sulawesi Macrogalidia musschenbroeki umumnya di jumpai di Lore Lindu. Dia hanya hidup nokturnal dan merupakan pemanjat pohon yang cukup tangkas. Makanannya terdiri dari buah-buahan terutama palm dan berbagai jenis tikus. Walaupun dia adalah penghuni hutan, kadang-kadang dia menjarah kandang ayam di desa-desa yang letaknya cukup jauh dari hutan. Musang Malaya yang di introduksinya, Viverra tangalunga, hidupnya tidak jauh dari desa-desa. Tetapi ia juga dapat diketemukan jauh di dalam hutan. Musang biasa Paradoxurus hermaphroditus tidak dijumpai di Lore Lindu. Rusa (Cervus timorensis), umumnya dijumpai di bagian-bagian taman yang berupa padang atau rawa seperti di Besoa, Napu dan Lindu.

Jenis-jenis Burung

Sebanyak 66 jenis atau 83 % dari seluruh jenis burung endemik yang terdapat di Sulawesi dapat diketemukan di Lore Lindu atau daerah sekitarnya. Diantaranya termasuk jenis-jenis yang paling jarang di Sulawesi seperti Rallus plateni, Scolopax selebensis, Tyto insexspectata dan Geomalia heinrichi. Tercatat 194 jenis burung yang terdapat dalam kawasan ini. Namun jumlah tersebut merupakan 73 % dari jumlah burung yang hidup di dataran Sulawesi.

Dalam Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) juga terdapat paling tidak enam tempat burung Maleo (Macrocephalon maleo) bertelur. Kesemuanya mendapatkan panas yang berasal dari sumber air panas yang terdapat disekitarnya. Di Taweki, tempat bertelor burung endemik Sulawesi ini berada pada ketinggian 1.000 m dpl. Sedangkan di Pakuli berada pada ketinggian antara 500 sampai 800 m dpl. Populasinya umumnya rendah, sehingga jarang terlihat.

Reptilia, Amfibi dan Ikan

Ular sanca Phyton raticulatus hanya umum diketemukan di bawah ketinggian 1.000 m dpl. Ia dapat mencapai ukuran tubuh yang besar, lebih dari 6 m. Ular belang yang sering terlihat oleh masyarakat adalah jenis racer erythrura dan elaphe (Gonyosoma) janseni, Mok viper Psammodynastes pulverulentus dan Xenopeltis unicolor. Raja kobra Ophiphagus hannan sering juga diketemukan, terutama di dekat-dekat air. Cylindrophis celebiensis adalah ular yang tidak banyak dikenal, kehadirannya hanya diketahui dari satu spesies yang pernah dikoleksi. Dari 68 jenis ular yang tercatat ada di Sulawesi, 21 diantaranya adalah endemik.

Sebelas jenis kadal telah berhasil diidentifikasi dari TNLL, satu diantaranya yaitu Liolopisma tidak ada deskripsinya. Sphenomorphus nigrolabris adalah satwa endemik yang semi-akuatik dan sering dijumpai duduk diatas batu di sungai-sungai kecil. Dia segera melompat kedalam air, berenang menyelamkan diri jika didekati. Tokek besar Gekko gecko hanya dijumpai pada ketinggian yang paling rendah. Karena merupakan penghuni hutan dan belukar yang sejati, dia tidak dijumpai sekitar rumah-rumah.

Ada 12 jenis amfibi yang dikenal di TNLL, diantaranya adalah Oreophryne sp, yang tidak ada deskripsinya. Danau lindu memiliki enam jenis ikan, hanya satu diantaranya yaitu Anabas testudius yang merupakan penghuni asli. Di pinggir-pinggir TNLL hanya sungai-sungai besar saja yang mengandung ikan. Tetapi ikan belut sangat umum didapat sampai ke sungai dari yang paling kecil sekalipun.

Ø Iklim

Lore Lindu adalah pusat dari Pulau Sulawesi yang kurang dipengaruhi oleh laut dibandingkan kebanyakan bagian-bagian lain dari Sulawesi. Kawasan konservasi mempunyai iklim tropis yang kering dengan curah hujan tahunan 2- 3000 mm dibagian utara.Kenaikan 3-4000 mm dibagian selatan kebanyakan terkonsentrasi pada periode musim barat yang kering dari bulan November sampai April. Sangat jarang lebih dari 1 atau 2 secara komplit bulan-bulan kering dalam tahun selama musim Barat. Hal ini ditandai dengan variasi lokal dalam curah hujan. Palu , contohnya yang hanya berjarak 50 km dari bagian utara taman adalah daerah kering di Indonesia dengan curah hujan 500 mm. Hal ini disebabkan karena terbentang dalam bayang-bayang hujan dari pegunungan tinggi di Timur dan Barat.

Namun Jika ingin melihat ekosistem lain yang lebih kompleks ada di TN. Rawa Aopa Watumohai. Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai memiliki beberapa ekosistem yaitu :

- Ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah

Tipe ekosistem ini terdapat di bagian kawasan yang datar dan kadang-kadang tergenang air pada musim hujan. Memiliki vegetasi sangat beragam, terdapat antara Rawa Aopa dan Pegunungan Mendoke, juga dapat dijumpai di sepanjang alur-alur sungai serta membentuk kelompok kecil di tengah savana.

- Ekosistem hutan hujan tropika pegunungan rendah

Tipe ekosistem ini terdapat pada ketinggian 500 – 981 m dpl. Terdapat di daerah pegunungan Mendoke – Watumohai dan Makalelo dan memiliki komposisi sangat heterogen terutama pada bagian bawah lereng.

- Ekosistem hutan bakau

Tipe ekosistem ini terdapat di sepanjang pantai, membentang mulai dari muara Sungai Roraya sampai muara Sungai Langkowala Lanowulu, di bagian selatan kawasan taman nasional.

- Ekosistem hutan savana

Vegetasi ini merupakan tipe ekosistem yang khas, terbentang diantara hutan bakau dan hutan hujan tropika dataran rendah.

- Ekosistem hutan rawa air tawar di Sulawesi

Merupakan daerah depresi yang terletak diantara Pegunungan Mendoke, Motaha dan Makalelo yang digenangi air sepanjang tahun, karena tempat bermuaranya beberapa sungai yang ada sebelum mengalir ke Sungai Konawela di bagian Utara dan Sungai Roraya di bagian Selatan kawasan.

Flora

Menurut hasil eksplorasi flora tahun 1993 di Gunung Watumohai dan sekitarnya diperoleh data, bahwa tumbuhan di kawasan ini tercatat sebanyak 89 suku, 257 marga, dan 323 jenis tumbuhan. Berikut adalah jenis-jenis vegetasi yang terdapat di masing-masing ekosistem.

- Ekosistem hutan hujan tropika dataran rendah

Jenis-jenisnya antara lain kayu hitam ( Dyospyros spp), bitti/laban ( Vitex spp), nona ( Metrosideros petiolata), longgida (Nauclea orientalis), sisio ( Cratoxylon formosum), rotan ( Calamus spp), liana dan tumbuhan menjalar lainnya serta semak.

- Ekosistem hutan hujan tropika pegunungan rendah

Jenis-jenisnya antara lain kulipapo ( Vitex copassus), bitti/laban ( Vitek pubescens), kalapi (Callappa celebica), nona ( Metrosideros petiolata), holea ( Heistantus sp), bambu duri ( Bambusa spinosa), dan beringin ( Ficus spp).

- Ekosistem hutan bakau

Jenis-jenisnya antara lain tongke ( Bruguiera gymnorhiza), peropa/bogen ( Sonneratia spp), lara teki ( Rhyzophora apiculata), dan nipah ( Nypa frutican).

- Ekosistem hutan savana

Vegetasi savana di taman nasional ini memiliki ciri khas dan keunikan, karena merupakan asosiasi antara padang rumput dengan tumbuhan agel, lontar dan bambu duri serta semak belukar, juga tumbuhan di sepanjang sungai-sungai yang mengalir di padang savana tersebut.

Jenis-jenisnya antara lain gebang ( Corypha utan), lontar ( Borassus flabelliter), bambu duri ( Bambusa spinosa), alang-alang ( Imperata cylindrica), tio-tio ( Frymbrys ferruqines), kuralangga ( Axonophus compressus), dan totele ( Cyperua rotundus).

- Ekosistem hutan rawa air tawar di Sulawesi

Jenis-jenisnya antara lain uti ( Bacchia frutescens), waru (Planchonia valia), dan betao ( Callophyllum soulatri).

Fauna

Mamalia; Dari jenis primata antara lain tangkasi/podi ( Tarsius spectrum ) dan monyet hitam ( Macaca nigra ). Satwa langka dan dilindungi lainnya, yaitu anoa dataran rendah ( Bubalus depressicornis ), anoa pegunungan ( B. quarlesi ), kuskus kerdil ( Strigocuscus celebensis ), rusa ( Cervus timorensis ), babirusa ( Babyrousa babyrussa ), dan musang sulawesi ( Macrogalidia musschenbroekii ).

Burung; Tercatat ada 155 jenis burung, 32 jenis diantaranya tergolong langka dan 37 jenis tergolong endemik. Burung-burung tersebut antara lain maleo ( Macrocephalon maleo ), rangkong ( Rhycticeros cassidix), bangau tong-tong ( Leptoptilos javanicus ), bangau sandang lawe ( Ciconia episcopus ), elang ( Haliastur indus) , pecuk ular ( Anhinga melanogaster), pelikan ( Pelecanus conspicillatus ), cangak merah ( Ardea sumatrana), raja udang kalung putih ( Halcyon chloris ), kakatua putih besar ( Cacatua galerita triton ), elang-alap dada-merah ( Accipiter rhodogaster ), merpati hitam Sulawesi ( Turacoena manadensis ), dan punai emas ( Caloena nicobarica ).

Terdapat satu jenis burung endemik di Sulawesi Tenggara yaitu burung kacamata sulawesi ( Zosterops consobrinorum ). Burung tersebut tidak pernah terlihat selama puluhan tahun, namun saat ini terlihat kembali di kawasan taman nasional.

Reptil dan amfibi; Antara lain kodok ( Rana spp), ular sawah ( Phyton reticulatus), tokek (Gekko gekko), biawak ( Varanus salvator), buaya muara ( Crocodyllus porosus), dan soa-soa (Hydrosaurus amboinensis).

Ikan; Antara lain tembakang ( Helastoma temminckii), betok ( Anabas testudineus), sepat ( Trichogaster trichopterus), lele ( Clarias batrachus), gabus ( Chana striata), belut ( Monopterus albus), bolari ( Anguilla cebesensis), dan julung ( Dermogenys orientalis).

Sedangkan untuk contoh kawasan hutan jenis lain ada pada TN. Bogani Nani Wartabone.Kawasan Dumoga Bone dibagi menjadi 5 (lima) tipe vegetasi utama, yaitu:

  • Vegetasi sekunder (s econdary vegetation)
  • Hutan primer dataran rendah (l owland primary forest)
  • Tumbuhan dataran rendah pada tanah alluvial ( lowland vegetation on alluvial soials)
  • Hutan pegunungan rendah dan hutan lumut ( lowland montane forest dan moss forest)
  • Hutan tanaman ( forest plantation)

Flora

Diperkirakan lebih dari seribu jenis flora dan fauna yang telah teridentifikasi hidup di kawasan ini. Flora terdiri dari 400 jenis pohon, 241 jenis tumbuhan tinggi, 120 jenis efifit dan 100 jenis tumbuhan lumut dan 90 jenis tanaman obat-obatan. Terdapat juga 24 jenis anggrek termasuk famili Orchideae (anggrek putri).

Tumbuhan yang khas dan langka di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, adalah palem matayangan ( Pholidocarpus ihur ), kayu hitam ( Diospyros celebica ), kayu besi ( Intsia spp .), kayu kuning ( Arcangelisia flava ) dan bunga bangkai ( Amorphophallus companulatus ). Sedangkan tumbuhan yang umum dijumpai seperti Piper aduncum, Trema orientalis, Macaranga sp., cempaka, agathis, kenanga, dan tanaman hias.

Fauna

Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki 24 jenis mamalia, 64 jenis aves, 11 jenis reptilia, 2 jenis amfibia, 36 jenis kupu-kupu, 200 jenis kumbang, dan 19 jenis ikan. Sebagian besar satwa yang ada di taman nasional merupakan satwa khas/endemik pulau Sulawesi .

Mamalia; Antara lain satwa endemik monyet hitam/Yaki ( Macaca nigra ), monyet dumoga bone ( M. nigrescens ), M. heckii, tangkasi ( Tarsius spectrum ), musang Sulawesi ( Macrogalidia musschenbroekii ), musang ( Vivera tungalunga), kus-kus besar ( Palanger ursinus), kus-kus kecil ( P. celebensis), babi liar Sulawesi ( Sus celebensis), anoa besar ( Bubalus depressicornis ), anoa kecil ( B. quarlesi ), babirusa ( Babyrousa babirussa ), beberapa jenis tikus yang hanya dijumpai di Sulawesi bagian Utara ( Bunomys fratrorum, Taeromys taerae, dan rattus marmosurus) dan kelelawar bone ( Bonea bidens ) yang merupakan satwa endemik taman nasional.

Burung; Dari 328 jenis burung yang terdapat di Sulawesi, 81 jenis diantaranya termasuk burung migran, dan dari 247 jenis burung menetap, 88 jenis diantaranya merupakan burung endemik. Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone tercatat 200 – 225 jenis burung. Jenis-jenisnya antara lain burung betet ( Psittacula alexandri), nuri ( Eos spesiosa), belibis ( Anas gibberifrons), blekok ( Ardeola spesiosa).

Di daerah rawa dan dataran Kasinggolan banyak dijumpai burung kuntul kerbau ( Bubulcus ibis), cangak merah ( Ardea purpurea), kuntul perak kecil ( Egretta garzetta), kowak ( Nycticorax caledonicus), kuntul besar (E. alba), bangau berleher putih ( Ciconia episcopus), belibis ( Dendrocygna arcuata), elang ( Acciper virgatus), raja udang (Alcedo atthis dan A. fallax), raja udang besar ( Halcyon coromanda), putri madu ( Chalcophaps indica), merpati hutan ( Gallicolumba tristigmata ), burung madu ( Aethopyga flavostriata ), pipit ( Munia molluca), kepodang ( Oriolus chinensis), trinil ( Tringa hypoleucos), jalak paruh besar ( Scissirostrum dubium).

Satwa burung yang menjadi maskot taman nasional adalah Maleo ( Macrocephalon maleo ). Ukuran badan burung maleo hampir sama dengan ayam, namun telurnya 6 kali berat telur ayam. Maleo meletakan telurnya di dalam tanah/pasir sedalam 30-40 cm, dan biasanya terletak berdekatan dengan sumber air panas. Dengan panas bumi inilah telur maleo menetas.

Reptil; Jenis-jenisnya antara lain ular kobra ( Naja naja), king kobra ( N. hannah), ular belang ( Bungarus candidus), ular ekor merah ( Maticora intestinalis), ular hijau ( Trimeresurus wagleri), sanca ( Phyton reticulatus), sanca bodo ( P. molurus), ular bakau ( Boiga dendrophyla gemmicicta), buaya ( Crocodylus porosus), kura-kura sawah ( Cuora amboinensis), biawak maluku ( Varanus indicus), kadal ( Mabuta multifasciata), kadal kecil ( Lygosoma nirilabre, L. infralineolatum, dan L. cyanurum), soa-soa ( Hydrosaurus amboinensis).

Amfibi; Antara lain kodok ( Bufa celebensis) dan katak pohon ( Rhacophorus monticola).

Ikan; Antara lain ikan mas ( Cyprinus carpio), tawes ( Puntius javanicus), nilem ( Osteochilus hasseltii), mujair ( Oreochromis mossambica), ikan sogili ( Anguilla bicolor), soing ( Caranax papuensis), diamagan ( Kuhlia marginata), patahe ( Lutjanus russellii), dan ikan gorowo ( Crenimugil heterocheilus).

Fauna lainnya; Antara lain bekicot ( Achatina fulica), kijing taiwan ( Anodonta woodiana), gondang ( Pilla scutata), dan remis ( Corbicula).

Untuk ekosistem laut dan pantai terdapat di TN(L). Taka Bone Rate. Kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, terdiri dari

  • Ekosistem pantai (darat), dan
  • Ekosistem laut yang meliputi terumbu karang dan padang lamun.

Flora

Tumbuhan yang terdapat di daerah pantai dan pulau-pulau Taka Bonerate sebagian besar didominir oleh kaktus ( Opuntea sp.). pandan laut ( Pandanus sp.), cemara laut ( Casuarina equisetifolia ), ketapang ( Terminalia catappa ), kelapa ( Cocos nucifera ), asam ( Tamarindus indica), dan pepaya ( Carica papaya) .

Terumbu karang yang sudah teridentifikasi lebih dari 237 jenis seperti akar bahar ( Antiphates sp), karang meja ( Acropora spp), Pavona spp, dan Fungia spp. Sebagian besar jenis-jenis karang telah membentuk terumbu karang baik atol ( barrier reef ) dan terumbu tepi ( fringing reef ). Semuanya merupakan terumbu karang yang indah dan relatif masih utuh.

Ekosistem padang lamun tropis keberadaannya bersifat ekstensif di semua bagian kawasan taman nasional, utamanya pada daerah-daerah pantai dengan substrat pasir berlumpur. Jenis-jenis lamun yang ditemukan di kawasan ini terdiri dari 10 (sepuluh) jenis dan jenis yang paling dominan, antara lain Thallassodendron ciliata, Halophila ovalis, Cymodocea rotunda, Cymodocea serrulata, Thallassia hemprichii dan Enhalus acoroides.

Pada kawasan ini terdapat sekitar 47 jenis spesies rumput laut yang berasal dari phyllum Chlorophyta, Phaeophyta dan Rodophyta. Jenis-jenis rumput yang ditemukan pada perairan dangkal dan hidup di substrat berpasir antara lain Eucheuma sp., dan Gracilaria sp.

Fauna

Mamalia; Antara lain ikan paus ( Cetacea sp.), lumba-lumba ( Tursiops truncatus), dan ikan duyung ( Dugong dugon).

Burung; Antara lain camar ( Sternia spp.) yang ditemukan dalam jumlah yang banyak , dan ayam hutan (Gallus gallus).

Reptil; Antara lain beberapa jenis penyu, seperti penyu hijau ( Chelonia mydas), penyu sisik ( Eretmochelys coriacea), penyu tempayan ( Caretta caretta), penyu belimbing ( Dermochelys imbricata), penyu lekang ( Lepidochelys olivacea), dan penyu pipih ( Chelonia depressus).

Ikan; Terdapat sekitar 350 jenis ikan karang dan berbagai jenis ikan konsumsi yang bernilai ekonomis tinggi seperti kerapu ( Epinephelus spp), cakalang ( Katsuwonus spp), napoleon ( Cheilinus undulatus ), ikan hiu ( Sphyrna spp.), tuna ( Thunnus albocores), tenggiri ( Scomberemorus), dan baronang ( Siganus sp).

Biota laut lain; Di kawasan ini terdapat sekitar 101 jenis moluska seperti lola ( Trochus spp), kerang kepala kambing ( Cassis cornuta ), triton ( Charonia tritonis ), batulaga ( Turbo spp), kima ( Tridacna spp), kerang mutiara ( Pinctada spp), nautilus ( Nautilus sp), cumi-cumi ( Squid sp) dan gurita ( Octopus sp).

Demikianlah gambaran mengenai vegetasi dan sebaran fauna yang ada di pulau Sulawesi. Mari kita jaga dan lindungi keanekaragaman yang ada.

Sumber :

Ø http://tumoutou.net/702_05123/ramadhanil.htm

Ø www.ditjenphka.go.id

Ø The ecology of Sulawesi. oleh Muslimin Mustafa, Gregory S Henderson – 1987.

Ø sulawesibiodiversity.wordpress.com/